PT Pertamina (Persero) di tahun 2019 menginvestasikan sekitar US$2,6 miliar di sektor hulu (upstream), atau 60% dari total investasi yang dipersiapkan perseroan sebesar US$4,2 miliar.
Begitu pentingnya sektor hulu, hingga invetasi di sektor ini direncanakan akan ditambah sebesar US$400 juta lagi untuk keperluan pengembangan bisnis seperti M&A dan tender hulu migas, investasi anak usaha seperti PT Pertamina EP, serta untuk pengembangan blok migas di anak usaha di sektor hulu.
Direktur Hulu Pertamina, Dharmawan H Samsu menyatakan transformasi digital menjadi salah satu agenda strategis perusahaan. Berbagai fungsi seperti interpretasi, seismic, data storage saat ini sudah disentralisasi berbasis cloud (single system).
“Semisal anak usaha A memiliki software A, sementara anak usaha B memiliki software B, ini sudah diintegrasikan menggunakan satu software license owner saja sehingga lebih teroptimasi dari sisi biaya license. Dengan license yang terpusat pula, tim data semisal ada beberapa geologist yang perlu menggunakan software di saat yang bersamaan, tinggal pakai saja tidak perlu satu orang satu license,” jelasnya.
Baca: Pertamina Gunakan Teknologi Tinggi untuk Modernisasi Kilang
Untuk monitoring data produksi saat ini sudah menggunakan sistem daily report yang semuanya sudah tersedia secara digital di screen. Samsu sendiri memiliki empat layar di ruang kerjanya sehingga sebagai decision maker, ia bisa bergerak cepat semisal ada kick back dari lapangan sebelah yang menyebabkan produksi turun, bisa dicoba melewati route lain.
Ini menjadi sebuah paradigma baru bahwa decision maker harus bisa melihat real time data at anytime, anydate, historical yang ujungnya untuk selalu memotivasi di era 24/7 agar produksi mendekati decline rate 0, mengingat data ini juga sudah tersedia lewat aplikasi mobile.
Ditambahkan, Pertamina juga mempercepat proses akuisisi data. Pertamina saat ini menggunakan inisiatif social currency creation (divestasi 10% dengan BUMD untuk memperkuat kemitraan lokal) demi mempercepat proses akuisisi data terutama di darat.
Baca: Pertamina Kaji Teknologi Baru untuk Pacu Pertumbuhan Produksi
Mengingat, footprint sebuah survei seismik terkadang menyebabkan masyarakat lokal tidak bisa beraktivitas, atau misalnya lintasannya melewati pohon yang dilindungi dan berbagai aspek non-teknis lainnya, kemitraan dengan aspek lokal sangat penting dalam menunjang keberlangsungan proses akuisisi data.
“Kemitraan ini, bisa dalam bentuk pembukaan lahan, suplai makanan, suplai tenaga kerja dan sebagainya, yang sudah diterapkan di Proyek JTB (Jambaran Tiung Biru) dan Mahakam,” tambah dia.
Bersamaan dengan transformasi digital tersebut, optimalisasi teknologi juga terus dilakukan. Untuk menjaga laju produksi, berbagai teknologi tinggi diterapkan, mulai dari well intervention, strategi kompresor, optimisasi unit produksi, hingga rekonfigurasi sistem produksi.
Baca: Pertamina Gunakan Software Pertaflosim untuk Tingkatkan Efisien di Hulu
Di Blok Mahakam misalnya, digunakan strategi SIBU (shut in build up), yakni mengelola reservoir secara ketat di sumur-sumur tua, di mana secara terencana menutup katup kepala sumur dan membuka kembali ketika gas telah terkumpul, dan sejumlah strategi lain.
Berbagai upaya tersebut dapat menambah produksi dari sumur-sumur yang aktif, dan juga menahan laju penurunan produksi secara alamiah (natural decline). Ini mampu menekan biaya operasi atau cost recovery hingga 24%. Ada juga konsep DWE (develop while explore) yang dapat mempercepat proses eksplorasi dari semula 5-7 tahun menjadi 3 tahun saja.