Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ingin meningkatkan kontribusi swasta dalam aktivitas riset. Berdasarkan standar UNESCO, pendanaan riset seharusnya lebih besar berasal dari swasta, bukan pemerintah.
“Kalau menurut standar UNESCO 20 persen dari pemerintah, 80 persen dari swasta. Saat ini terbalik untuk kasus di Indonesia. Padahal di Malaysia sudah 75 persen swasta, 25 persen hanya pemerintah,” ungkap Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksono Tri Handoko dalam webinar, 18/09/2021.
Untuk itu, ia menegaskan, BRIN akan menjadi fasilitator dan enabler agar pihak swasta lebih mudah masuk ke dalam aktivitas riset di Tanah Air. Kurangnya peran swasta dalam riset disebabkan oleh besarnya biaya dan juga risiko yang diambil. Padahal, riset di sektor swasta bisa lebih dinamis karena menggunakan pendekatan berdasarkan orientasi pengguna.
“BRIN ingin menjadi wadah talenta periset muda untuk mematangkan kapasitas serta kompetensi riset sebelum diredistribusikan ke perguruan tinggi,” kata Laksono.
Dalam hal pengembangan talenta riset dan inovasi telah dibentuk Manajemen Talenta Nasional di bidang riset dan inovasi yang diselenggarakan BRIN sebagai platform dasar untuk peningkatan mobilitas periset.
BRIN sudah memulai manajemen talenta riset seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka untuk S1, S2 dan S3 by research, mendidik orang dengan Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) di Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) yang dikirimkan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ke berbagai negara.
BRIN juga menjadi penyedia infrastruktur riset utama untuk semua pihak, baik itu akademisi, periset, pelaku usaha hingga komunitas. Pihaknya ingin menarik sumber daya manusia terbaik lewat jaminan platform yang memungkinkan mereka meneliti sesuai minat dan kepakaran.
“BRIN bukan hanya untuk periset BRIN, BRIN ada untuk memfasilitasi semua orang yang ingin melakukan riset dan inovasi di Indonesia,” tutup Laksono.