Gaya cashless society semakin populer di masyarakat. Hal ini bisa jadi disebabkan pesatnya perkembangan teknologi serta pengaruh mengikuti tren yang sedang viral. Contohnya, membeli makan siang menggunakan layanan transportasi online, pakai uang digital, merencanakan liburan dengan membeli tiket pesawat terbang, pakai kartu kredit dan tentu belanja online di marketplace. Satu lagi yang lagi marak adalah meminjam uang secara online.
Industri keuangan memang terimbas oleh teknologi digital atau lebih dikenal dengan istilah financial technology (fintech). Kelebihan yang diperoleh biasanya berhubungan dengan memudahkan dalam bertransaksi, serta mempercepat suatu proses yang sebelumnya lebih lama. Mengajukan pinjaman misalnya, dulu dibayang-bayangi dengan berkas yang banyak sekali, harus datang ke bank dimana prosesnya ribet banget, harus ada agunan, survei lokasi dan seterusnya. Kini, cukup dengan upload data di ponsel, dana segar langsung cair.
Pemerintah semestinya mendorong agar fintech untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan rasio keuangan inklusif Indonesia berada pada angka 63%. Ini artinya masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan manfaat layanan keuangan dan perbankan. Dengan perkembangan fintech ini, inilah saat yang tepat untuk meningkatkan layanan keuangan digital. Tujuannya, untuk meningkatkan rasio keuangan inklusif, agar tingkat partisipasi masyarakat meningkat, sehingga ekonomi pun bisa tumbuh lebih baik lagi. Angin segar industri fintech pun berkembang pesat sekali, tercatat di Google Play dan App Store, hampir 400 aplikasi pinjam-meminjan secara online siap untuk di-download.
Data KPMG Microfinance Study 2014, ada sekitar 105 juta masyarakat Indonesia yang berpenghasilan Rp 60.000/hari yang memerlukan akses terhadap pinjaman mikro. Segmen peminjam yang potensi pasarnya besar tersebut ternyata belum digarap oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Menurut data Bank Indonesia (2014), porsi pinjaman mikro baru mencapai 4% dari total pinjaman. Hal inilah yang membuat aplikasi cicilan online menjamur dan disukai masyarakat.
Problem pada Pinjaman Online
Data dari LBH Jakarta, sampai Oktober 2018, terdapat 283 aduan dari nasabah yang melakukan pinjaman kepada aplikasi peminjaman online atau sering dikenal dengan nama P2P Lending. Sebelumnya kita sering temukan berita viral di media sosial, screenshoot percakapan bagaimana proses penagihan yang tidak etis dari oknum P2P Lending terhadap nasabah yang kreditnya tidak lancar. Juga debt collector melakukan intimidasi kepada nasabahnya yang macet, dari mulai menyebar data pribadi, mengancam, bahkan memerintahkan tindakan tidak senonoh. Harus ada tindakan yang solutif untuk mengatasi semua ini.
Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi hanya menerapkan sanksi untuk aplikasi pinjaman online yang terdaftar atau memiliki izin OJK, dimana hanya 73 fintech P2P Lending terdaftar di OJK. Jika pelakunya sudah berizin, OJK bisa mencabut izinnya.
Kasus yang terjadi akhir-akhir ini, disinyalir dimanfaatkan oleh lembaga P2P Lending illegal yang belum mempunyai izin dari OJK, lalu masyarakat yang terimbas kredit macet pun juga disinyalir kebanyakan adalah nasabah nakal yang memiliki portofolio tidak sehat, seperti melakukan peminjaman online dengan cara gali lubang tutup lubang ke berbagai P2P Lending illegal.
Pemerintah sendiri sudah membentuk Satgas Waspada Investasi yang terdiri dari 13 lembaga lintas kementerian seperti Kominfo, OJK dan lembaga penegak hukum. Salah satu tugasnya adalah melakukan pemantauan terhadap potensi terjadinya dugaan tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi yang dilakukan secara terkoordinasi dengan anggota Satgas. Beruntungnya, atas rekomendasi Satgas Waspada Investasi, Kominfo (13/11/2018) telah melakukan pemblokiran 341 aplikasi fintech abal-abal.
Namun, permasalahan diatas tidak akan berhenti sampai situ. Karena membuat aplikasi mobile bukanlah suatu hal yang sulit bagi sebagian millenial yang sangat akrab dengan dunia teknologi. Demand masyarakat yang tinggi ini, akan dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengakalinya. Pemblokiran adalah tindakan reaktif. Karena masyarakat juga bisa install aplikasi tanpa harus dari playstore, misalkan lewat web-based? Dan masih ada banyak metode lain yang tricky dan benar-benar perlu langkah yang serius untuk mengatasi dan mencegahnya. Jadi diperlukan tindakan preventif yang lebih terstruktur.
Solusi Permasalahan pada Pinjaman Online
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menyatakan jumlah UMKM di Indonesia mencapai 50 juta di tahun 2016. Sayangnya, data dari salah satu P2P Lending yang sudah terdaftar di OJK, dari pinjaman yang diajukan masyarakat hanya 30% saja pinjaman yang diperuntukan untuk usaha produktif oleh para pengusaha UMKM. Artinya, 70% pinjaman online dari startup-up P2P Lending tersebut, berasal dari masyarakat yang melakukan kredit yang bertujuan untuk konsumtif, seperti membeli hanphone, sembako, bahkan untuk kebutuhan tersier seperti pergi liburan.
Fintech legal yang resmi saat ini sudah menyalurkan kredit Rp 20 triliun. Dana tersebut sudah dialirkan hingga ke pelosok daerah di Indonesia. Pengguna fintech legal sudah mencapai 3 juta pengguna dan tersebar di seluruh Indonesia. Kalau kita asumsikan data ini mirip dengan start-up legal sebelumnya dimana 30% untuk usaha produktif, berarti ada Rp 14 triliun dana telah digelontorkan untuk membiayai pembelanjaan konsumtif semata.
Langkah sangat bijak jika kita perlu menata ulang kebijakan ini. Misalnya dengan memprioritaskan pinjaman online hanya untuk kegiatan produktif. Kontribusi sektor UMKM di Indonesia terbukti sangat signifikan bagi perekonomian nasional dengan menyumbang 60% Produk Domestik Bruto dan menyerap 97% dari tenaga kerja nasional. Dengan menggenjot pinjaman online hanya kepada sektor riil saja, tentu pertumbuhan perekonomian pun akan tumbuh pesat.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) tidak perlu khawatir, justru dengan penerapan ke sektor produktif, akan lebih fokus ke strategi yang optimal. Pertumbuhan ekonomi pun jadi lebih cepat seiring dengan usaha masyarakat yang berkembang.
Penulis: Ninin Sapto Hargiyanto, pemerhati keuangan.