Kesalahan yang merugikan perusahaan jutaan dolar bisa datang dari mana saja. Bagi satu perusahaan agen kredit terkenal, kesalahannya ada dalam framework yang belum di update di salah satu database-nya. Masalah ini memakan biaya sekitar US$575 juta ketika informasi pribadi milik hampir 150 juta orang hilang.
Ini adalah peringatan betapa pentingnya dan mahalnya data yang dicuri. Dan dengan pekerjaan jarak jauh atau work from home (WFH) jadi suatu keharusan, semakin penting bagi bisnis untuk fokus pada keamanan digital.
Dalam siaran pers Microsoft, 24/12, disebutkan bagi banyak perusahaan di Timur Tengah dan Afrika, awal tahun 2020 berfokus pada kekhawatiran yang lebih mendesak seputar kelangsungan bisnis. Prioritas nomor satu adalah mencari cara bagaimana para karyawan bisa terus bekerja secara jarak jauh tanpa gangguan.
Tapi lambat laun, ancaman yang lebih berbahaya muncul kembali.
Meski saat ini, karyawan tidak berada di kantor secara fisik, mereka masih berkolaborasi dengan aset-aset penting yang berisi data sensitif. Mereka tidak hanya masuk ke lingkungan perusahaan dan aplikasi lini bisnis, tetapi juga mengakses, mengedit, dan berbagi data sensitif. Meski beberapa aktivitas ini mungkin terjadi melalui perangkat yang dikelola perusahaan, banyak profesional bekerja dari komputer pribadi atau perangkat sharing lainnya.
Perusahaan sudah mulai merasakan konsekuensinya. Dalam survei terbaru oleh Microsoft, 73 persen chief information security officers (CISO) mengungkapkan bahwa organisasi mereka telah mengalami kebocoran data sensitif selama 12 bulan terakhir.
Di seluruh dunia, departemen TI berfokus pada peralihan ke pekerjaan jarak jauh dan, dalam banyak kasus, manajemen data mulai terlantar. Sebagai contoh, 75 persen data yang disimpan oleh satu organisasi di Uni Emirat Arab masih belum diklasifikasikan atau sudah obsolete.
Mungkin bisa dikatakan tahun 2020 telah menciptakan badai yang dahsyat bagi kepatuhan (compliance) terhadap peraturan.
Baca: 5 Perubahan Paradigma Keamanan Siber Menurut Microsoft