Jakarta, Itech – Teknologi Fuel Cell atau sel bahan bakar memiliki peran yang sangat penting dalam membantu mengurangi emisi bahan bakar fosil. tak Fuel Cell merupakan bagian penting dari sistem energi baru yang muncul, menawarkan efisiensi tinggi dan dapat mengirimkan daya yang cepat.
Demikian dikatakan Peneliti Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jarot Raharjo disela seminar ‘pengembangan teknologi fuel cell dan nanomaterial untuk Smart Energy di JCC, Jumat (15/4). Seminar yang digelar BPPT merupakan bagian dari Pameran Lab Indonesia 2016.
Menurut dia, demonstrasi ketahanan operasi alat di dunia nyata adalah masalah utama yang dihadapi dalam tahap komersialisasi. Teknologi Fuel Cell dan Hidrogen memiliki potensial kontribusi di tiga bidang yaitu power, transport & heat.
fuel cell merupakan perangkat yang mampu mengubah energi kimia ke energi listrik secara langsung. Bahan bakar di dalamnya bisa berupa hidrogen, metanol atau gas alam lainnya seperti metan. Pada umumnya Fuel Cell ini dalam penerapan menjadi dua macam, yaitu Poymer Electrolyte Membrane Fuell Cell (PEMFC) dan Solid Oxide Fuell Cell (SOFC).
PEMFC fokus pada hidrogen sebagai bahan bakar, terutama untuk aplikasi transportasi.
Berpotensi untuk mengurangi karbonisasi sektor transportasi jika hidrogen diproduksi dari nuklir, energi terbarukan, atau dengan CCS (carbon capture storage). Pasar utama saat ini adalah truk fork lift dan back-up power telekomunikasi
Sedangkan Solid Oxide Fuel Cell – SOFC fokus pada gas alam untuk sistem stasioner, tetapi memiliki potensi untuk beroperasi pada bahan bakar terbarukan seperti biogas. Efisiensi tinggi pada bahan bakar hidrokarbon (~40% untuk output ‘kecil’ (kWe) sistem berdiri sendiri, hingga 70% untuk output ‘besar’ (MW) gas turbin hybrids).
Saat ini di Indonesia, aplikasi fuel cell sudah dipakai pada industri telekomunikasi. Salah satunya perusahaan PT Cascadiant Indonesia pun telah banyak melayani perusahaan telekomunikasi. “Operator telekomunikasi memakai fuel cell untuk menggantikan peran genset saat listrik padam. Selain bebas emisi, tidak bising dan harga fuel cell lebih kompetitif,” kata Direktur Pengembangan Bisnis PT Cascadiant Indonesia Charles Giroth.
Sedikitnya 600 Base Transceiver Stasion (BTS) di Indonesia yang telah menerapkan teknologi Fuel Cell milik Cascadiant. Teknologi Fuel Cell berfungsi sebagai back up atau pengganti genset bagi BTS apabila pasokan listrik PLN mengalami gangguan. “Kelebihan teknologi Fuel Cell ini ramah lingkungan, nol emisi karbon dan anti bising. Tidak seperti genset,” ujarnya.Umumnya, genset atau gerator bertenaga diesel akan difungsikan apabila pasokan listrik PLN terganggu. Namun pada BTS Green, Fuel Cell dapat digunakan sebagai pasokan tenaga cadangan.
Dilanjutkan, industri nirkabel membutuhkan hampir 1,00,000 situs off-grid menggunakan lebih dari 1,3 juta generator diesel. Dari 1,3 juta generator diesel tersebut memancarkan hampir 100 juta ton CO2 setiap tahun atau setara dengan 20 juta mobil. “Industri nirkabel mengganti tambahan generator 500.000 diesel setiap tahun untuk daya back-up yang berjalan rata-rata 4 jam per hari,” katanya lagi. (red/ju)














