Jakarta, Itech- Dalam rangka memulai pembangunan industri obat-obatan biosimilar di Indonesia, pemerintah harus segera melakukan kontrak riset teknologi dengan peneliti mancanegara, selain juga membuat model kontrak multi perusahaan sehingga industri obat-obatan biosimiliar atau dikenal dengan produk biologi yang berbasis protein, dapat berkembang.
Memang diakui, pengembangan riset dan industri di bidang obat-obatan biosimilar memerlukan investasi yang cukup fantastis yakni dikisaran 200-500 juta dolar AS, namun hasil yang didapat bisa mencapai 1 miliar dolar AS per tahun. Apalagi, pangsa pasarnya mencapai 30 % dari pasar obat-obatan dunia yang nilainya sekitar 1,1 triliun dolar AS.
“Khusus bidang obat-obatan biosimilar, Indonesia memiliki banyak tenaga ahli bioteknologi. Fasilitas laboratorium juga sudah ada di Puspiptek Serpong , tinggal di-‘upgrade’ saja. Yang dibutuhkan hanya dana investasi dan komitmen,” kata Kepala Program Teknologi Biofarmasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Chaidir Amin dalam FGD bertema ‘Strategi dan Tantangan Teknologi Dalam Pengembangan Industri Biosimiliar Indonesia, di sela Pameran Lab Indonesia 2016 di Jakarta, Kamis (14/4).
Chaidir menambahkan, hingga saat ini masyarakat Indonesia telah mengkonsumsi obat biosimilar berupa insulin dan erythropoitein. Kedua obat itu diimpor dari luar negeri sejak 10 tahun lalu. Keunggulan obat biosimilar terletak pada bahan dasarnya yang berupa protein dan antibodi. Obat ini dinilai lebih alami jika dibandingkan dengan obat generik kimiawi. “Insulin, eritropoetin, tumor necrosis factor (TNF) alpha, antibodi monoklonal, albumin, dan interferon adalah beberapa contoh dari sekitar 40 produk obat-obatan biologi yang sudah ditemukan di dunia,” tambahnya. (red/ju)