Jakarta, ItWorks- Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (Korika) menginisiasi kolaborasi untuk inovasi teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) melalui platform ClimateSmart Indonesia, menghadirkan solusi teknologi AI yang akan mampu memprediksi adanya penyakit yang sensitif terhadap perubahan iklim (climate change), seperti malaria, demam berdarah, dan lainnya melalui integrasi data iklim dan kesehatan. Bahkan ke depan, AI juga akan digunakan untuk mendeteksi dan mencegah penyakit lain, seperti leptospirosis.
Pengembangan platform ini diharapkan mampu memperkuat resiliensi kesehatan di Indonesia melalui teknologi AI dan teknologi baru pendukung lainnya. Platform teknologi kecerdasan ini akan mendukung dalam memprediksi dan merespons penyakit yang sensitif terhadap iklim. Seperti malaria dan demam berdarah, yang seringkali meningkat akibat perubahan iklim. AI juga akan digunakan untuk memprediksi peristiwa cuaca ekstrem, seperti banjir, yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit seperti leptospirosis.
Menurut President KORIKA, Prof. Hammam Riza, kemitraan ini merupakan bagian dari inisiatif Climatesmart Indonesia yang dikembangkan oleh KORIKA, Intitute for Health Modeling and Climate Solutions (IMACS), Mohamed Bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI). Pengembangan platform ini juga melibatkan sejumlah kementerian/lembaga, antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi); Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Hammam Riza menambahkan, pengembangan AI merupakan bagian dari inisiatif Climatesmart Indonesia yang akan terus dikembangkan secara berkelanjutan. Adapun fokus utama program ini adalah penguatan Early Warning and Response System (EWARS) atau sistem peringatan dini bagi penyakit sensitif terhadap iklim.
“Kita harapkan ini akan menjadi Center of Excellence (CoE) atau Pusat Keunggulan terkait solusi bisang kesehatan . melalui kolaborasi ini, kita akan buat blue print integrasi data kesehatan dan iklim, dalam rangka membangun sebuah platform AI untuk mempredksi penyebaran enyakut menular, khsusnya adalah, malaria, dengue, hingga letisiruosis. Membangun pusat keunggulan dalam bidang kesehatan terkait iklim adalah langkah krusial menuju ketahanan kesehatan Masyarakat yang lebih baik berbasis data,” ungkap Hammam Riza dalam acara Innovation Forum Of ClimateSmart Indonesia yang berlangsung (5/05/2025) di Jakarta.
Hal senada disampaikan Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, Ph.D. adalah Direktur Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia. Pakar geologi lingkungan dan mitigasi bencana ini menandaskan pentingnya kolaborasi dalam konteks pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) untuk meningkatkan pemahaman dan respons terhadap dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat. BMKG, di bawah kepemimpinannya pun terus nberupaya mengembangkan solusi inovatif, termasuk sistem prediktif, untuk mengantisipasi penyebaran penyakit terkait iklim ini.
Sementara itu, Chief TTDK, sebelumya Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan RI, Setiaji S.T, M.Si, mengatakan, belajar dari kasus COVID-19, inisiasi inovasi pemanfaatan smart technology, seperti AI ini, sangatlah penting untuk peningkatan dan ketahanan bidang kesehatan. “Kami sangat mengapresiasi inisiatif ini. Kolaborasi merupakan kunci sebagaimana kita pernah alami saat pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu dengan bersama mengembangkan sistem aplikasi Kesehatan. Belajar situasi pandemi COVID-19, hal ini juga menuntut adanya inovasi untuk solusi adaptif dalam merespons dan mencegah penyebaran suatu penyakit dengan memanfaatkan data dan teknologi informasi,” ungkapnya.
Pemanfaatan AI dan TI lainnya, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat, sehingga respons yang lebih efektif dapat dilakukan. Pemanfaatan AI untuk memprediksi penyakit akibat perubahan iklim dinilai merupakan langkah strategis yang dapat memperkuat resiliensi kesehatan, meningkatkan efektivitas intervensi, dan mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi tantangan kesehatan yang semakin kompleks akibat perubahan iklim.
Ditambahkan, ke depan, Kemenkes juga akan terus ,mendorong adanya transformasi digital pada layanan Kesehatan masyakat. Termasuk di antaranya berfokus untuk memberikan informasi berdasarkan integrasi data Kesehatan termasuk data pendukung dari lintas sektoral. Sehingga bisa mendukung tingkat ketahanan kesehatan masyarakat Indonesia. Sinergi antara teknologi dan kebijakan Kesehatan, hal ini jua akan memungkinkan terciptanya pendekatan yang lebih adaptif, serta memastikan solusi yang tidak hanya responsif namun juga preventif dalam menghadapi tantangan kesehatan global.
Dengan dukungan dari pemerintah dan berbagai institusi terkait, diharapkan bisa menciptakan solusi berbasis data yang lebih presisi bagi pemangku kepentingan dalam menghadapi dampak kesehatan akibat perubahan iklim. “Melalui akses terhadap infrastruktur data yang lebih canggih, program ini akan semakin meningkatkan kesiapan Indonesia dalam menyusun kebijakan kesehatan berbasis AI. Terutama terkait perubahan iklim, di mana ini sudah berdampak serius pada kesehatan,” ujar Hammam Riza menambahkan.
Dalam kesempatan itu juga dibahas agenda transformasi sistem layanan kesehatan melalui solusi AI yang tangguh untuk respons adanya penyakit yang muncul atau sensitive terhadap perubahan iklim. Dengan pendekatan teknologi atau solusi flatform AI, akan memudahan dunia kesehatan mendapatkan data dan informasi terkait ClimateSmart Indonesia untuk memperkirakan dan menanggapi penyakit yang sensitif terhadap iklim.
Fitur Unggulan
Solusi berbasis generative AI ini bukan sekadar platform, namun akan menjadi ekosistem nasional berbasis inovasi, sains, dan tata kelola. Platform ini menghadirkan berbagai fitur unggulan yang dirancang untuk meningkatkan ketahanan sistem kesehatan nasional terhadap perubahan iklim.
Platform ini memiliki dua fitur utama: Digital Twin Indonesia dan Dashboard AI untuk Decision Support System. Penerapan platform ini akan mampu memprediksi penyakit seperti malaria dan demam berdarah, yang seringkali meningkat akibat perubahan iklim.
Di antaranya ada sistrem untuk prediksi penyakit berbasis kecerdasan artifisial (AI) yang mampu mengidentifikasi potensi wabah seperti demam berdarah, malaria, dan leptospirosis dengan tingkat akurasi lebih dari 90 persen. Dengan Digital Twin, solusi ini akan dapat memvisualisasikan skenario iklim masa depan serta memetakan wilayah rawan wabah secara dinamis.
Selain itu, platform ini menyediakan dasbor interaktif yang mampu memberikan prediksi hiper-lokal, peringatan secara real-time, dan alat bantu pengambilan keputusan berbasis skenario untuk mendukung respons kebijakan kesehatan. Seluruh sistem terintegrasi dengan data satelit, informasi kesehatan, dan data demografi, memungkinkan analisis spasial yang cermat untuk memperkuat strategi peringatan dini dan perencanaan tanggap darurat yang lebih efektif.
Dalam acara ini pembahasan ini, hadir sejumlah pembicara utama dari berbagai sektor strategis. Di antaranya termasuk dari Kemenkes, Komdigi, dan BMKG). Forum ini juga menghadirkan pembicara internasional dari Kelly Willis, Managing Director Malaria No More (MNM). “Kami sangat mengapresiasi inisiasi ini untuk mendukung pembangunan bidang kesehatan yang lebih baik di Indonesia dengan dukungan pemanfaatan teknologi AI,” ungkap Kelly Wilis.
Kelly Willis adalah Direktur yang memegang peran strategis di MNM, yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pertumbuhan program dan kemitraan berdampak tinggi organisasi di seluruh dunia. Ia memiliki lebih dari 20 tahun pengalaman bekerja di bidang penyakit menular dan kesehatan global.
Dalam berbagai pertemuan dan diskusi, Willis telah banyak membahas dampak perubahan iklim terhadap malaria. Terasuk bagaimana Malaria No More berinovasi untuk mendukung upaya perang melawan penyakit tersebut, dan mendoronmg peran konsorsium Forecasting Healthy Futures.
Sejak didirikan pada tahun 2006, Malaria No More (MNM) telah berupaya memobilisasi komitmen politik, pendanaan, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mengakhiri malaria di generasi ini. ClimateSmart Indonesia didanai oleh Reaching the Last Mile dan Patrick J. McGovern Foundation. Inisiatif ini telah melibatkan lebih dari 20 pemangku kepentingan, 5 panel pakar, dan 3 konsultasi tingkat tinggi selama dua tahun terakhir, serta membangun kemitraan formal dengan berbagai institusi pemerintah.