Mobile Marketing Association (MMA) Indonesia chapter mengadakan acara industri periklanan digital APAC Ad Fraud Road Show tentang penipuan iklan di Jakarta, (8/7). Dengan tema ‘ACT’ – Assess, Combat and Track, acara ini akan membantu pemasar menilai pengertian mereka terhadap penipuan, cara-cara untuk meningkatkan brand safety, meningkatkan kinerja pemasaran untuk platform periklanan dan mendorong akuntabilitas dalam mobile advertising.
Sesi acara ini menampilkan pemangku kepentingan industri dari Unilever, Nestle, Tokopedia, GoJek, Kompas Gramedia, Kapanlagi Youniverse, Mindshare, dan pelaku industri terkemuka lainnya. Para pembicara berbagi mengenai pengetahuan dan pengalaman mereka pada acara ini, didukung oleh Integral Ad Science dan mFilterit sebagai pakar utama yang memaparkan beberapa tantangan utama seperti brand safety, viewability, penipuan iklan, serta pengukuran yang tidak konsisten yang pada industri mobile advertising.
Penipuan iklan mobile menjadi semakin canggih dan sulit dideteksi. Miliaran dolar dipertaruhkan dan hal ini membuat pelaku industri menjadi waspada. Melalui acara ini, MMA menyatukan pemangku kepentingan utama dalam industri periklanan untuk dapat mengedukasi dan membantu mereka menilai, mendiagnosa diri sendiri dan memahami pengertian mereka terhadap penipuan online.
Ad Fraud di Asia Pasifik
Pengiklan diperkirakan akan kehilangan USD 42 miliar dari pengeluaran iklan secara global pada tahun 2019 karena masalah yang berfokus pada penipuan iklan. Di Asia Pasifik, USD 17 juta hilang yang merupakan dampak keseharian dari penipuan iklan.
Indonesia, sebagai negara terbesar ke-2 di Asia Tenggara untuk belanja iklan digital setelah Thailand, merupakan target para penipu periklanan karena skala dan volume pembelanjaan iklan yang signifikan. Target yang diincar para pelaku Ad Fraud adalah para pengguna terbesar dalam pemasaran digital: E- commerce, Teknologi Finansial, FMCG, dan Sektor Game.
Dalam acara dengan media, Shanti Tolani, Country Manager Mobile Marketing Association Indonesia mengatakan, “Berdasarkan survei kami pada Q1 2019, di Indonesia 33% pemasar masih rendah pengertiannya terhadap tingkat penipuan periklanan untuk pembelanjaan iklan mereka. Pengetahuan tentang sistem monitoring dari cara brand mereka ditayangkan di media dan bagaimana penayangan tersebut diukur masih rendah.”
“Maka, dengan demikian, ada kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dari mitra media mereka. Hal ini menjadi penting bagi masing-masing pemangku kepentingan pada ekosistem ini untuk mengedukasi dan terus berusaha mengatasi isu tersebut, di situlah MMA memberikan kontribusi pada industri periklanan. Terkait penipuan iklan dan brand safety, Indonesia baru saja memulai perjalanannya,” tutup Shanti.