Dinamika perkembangan global, belakangan ini kian memberikan sinyal betapa pentingnya meningkatkan daya saing ekonomi, industri dan perdagangan sebagai upaya mendukung kemandirian dan ketahanan nasional. Apalagi dengan semakin terbukanya kran perdagangan bebas, baik regional maupun global yang ditandai dengan terjadinya arus bebas (free flow), baik barang, jasa, investasi, maupun permodalan.
Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, visi pembangunan ekonomi nasional yakni “Terwujudnya perekonomian yang maju, mandiri, dan mampu secara nyata memperluas peningkatan kesejahteraan masyarakat berlandaskan pada prinsip-prinsip ekonomi yang menjunjung persaingan sehat dan keadilan, serta berperan aktif dalam perekonomian global dan regional bertumpu pada kemampuan serta potensi bangsa”.
Meski perlu waktu dan kerja keras untuk mewujudkan visi besar itu, Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi), sejak awal langsung menaruh perhatian besar terhadap hal ini. Salah satunya dengan memfokuskan pada pembangunan infrastruktur untuk konektivitas logistik, sebagai bagian penting dari Nawa Cita (Sembilan Harapan) untuk daya saing Indonesia di kancah global.
Salah satu agenda besar dari Nawa Cita yakni, ”Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya” (pilar ke-6 Nawa Cita). Beberapa faktor yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan daya saing Indonesia, di antaranya kesiapan infrastruktur transportasi dan logistik. World Economic Forum (WEF) terkait Global Competitiveness Index, beberapa kali menyoroti tentang kesiapan infrastruktur logistik di Indonesia yang masih perlu ditingkatkan.
Tak dapat disangkal, dalam percaturan ekonomi regional maupun global, daya saing ekonomi dan perdagangan sangatlah penting. Di tingkat regional, dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), peluang pasar makin terbuka, namun tantangan persaingan juga makin dinamis dan kompetitif.
Begitu juga dengan kesepakatan baru, Indonesia- Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang dilakukan Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, di Canberra, Australia pada (10/02/2020) yang merupakan babak baru bagi hubungan ekonomi Indonesia dan Australia yang bertujuan untuk saling meningkatkan nilai dan aktivitas ekonomi masing-masing negara. Dengan kesepakatan ini, baik Indonesia maupun Australia mendapat fasilitas pembebasan bea masuk untuk produk-produk perdagangan.
Dengan menerapkan kebijakan yang makin longgar (open policy), peluang dan tantangan juga makin terbuka. Tanpa kemandirian , Indonesia akan sulit bersaing.
Sebaliknya daya saing ekonomi yang kuat, akan menjadikan Indonesia lebih berdulat, bahkan bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Apalagi domestik market Indonesia, juga masih sangat besar. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) terkait Global Competitiveness Index, dengan jumlah penduduk lebih 260 juta, pasar Indonesia diakui sangat potensial, yang merupakan ukuran pasar terbesar peringkat ke-9.
Karena itu, menjaga daya tahan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kemandirian, sangatlah penting, baik melalui jasa perdagangan, industri, pertanian dan sektor lain. Terlebih kemandirian yang bertumpu pada ekonomi lokal, agar bisa menekan ketergantungan Indonesia dari negara lain, utamanya impor barang-barang konsumtif, bahan baku produksi, dan lainnya.
Upaya menuju kemandirian perlu terus didorong, mengingat hingga kini berbagai kebutuhan bahan baku dan penolong bagi industri pengolahan Indonesia, masih banyak bergantung impor. Bahkan ketergantungan impor juga dialami untuk barang-barang konsumsi. Termasuk bahan baku makanan hasil sektor pertanian, peternakan, perkebunan, dan lainnya. Bebergai produk makanan Indonesia, sebagian untuk pemenuhannya masih bergantung pada impor (food trap) dari negara lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor kumulatif Januari–Februari 2020 mencapai US$25.870,3 juta atau turun 4,95 % (US$1.347,1 juta) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, nilai impor golongan barang konsumsi, justru meningkat 5,28%.
Adapun impor nonmigas Indonesia pada Juni 2020 mencapai US$10,09 miliar atau naik 29,64% dibandingkan Mei 2020. Dibandingkan Juni 2019 juga naik 3,12 %. Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, selama Juni 2020 nilai impor seluruh golongan penggunaan barang mengalami peningkatan. Golongan barang konsumsi juga naik US$477,6 juta (51,10 %).
Padahal Indonesia dulu pernah berswasembada beras, tidak pernah mengimpor kedelai, dan beberapa komoditi pertanian lainnya. Namun kini impor berbagai kebutuhan semakin bertambah dengan komoditi yang juga makin beragam. Mulai beras, gandum, jagung, kedelai, kacang tanah, bawang putih, hingga buah-buahan yang menjadikan disinsentif bagi usaha pertanian di dalam negeri. Komponen impor yang tinggi menjadi sebab semakin tingginya “imported-inflation”, dan kategori inflasi ini bisa berbahaya karena bisa mengancam ketahanan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Sebagaimana diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi), Prof Andi M. Syakir, setidaknya ada 15 komoditas pangan strategis yang saat ini masih bergantung kepada impor dengan angka ketergantungan 30-100%. Termasuk di dalamnya adalah bawang putih, gandum, gula pasir, dan komoditi lainnya.
“Kami mencatat ada 15 komoditas pangan strategis yang saat ini pemenuhanya harus diimpor. Padahal komoditas tersebut sejatinya dapat dihasilkan dari sumberdaya dalam negeri, beberapa bisa dilakukan substitusi. Kuncinya adalah pengembangan pewilayahan, dukungan sarana pra sarana produksi, pembiayaan, dan penerapan teknologi yang tepat,” ungkap Ketua Umum Peragi, Prof Andi M. Syakir dalam satu acara pertemuan dengan Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani dalam acara diskusi bersama Center of Reform on Economics (Core) di Jakarta, beberapa waktu lalu juga menyorot tentang masih tingginya ketergantungan impor Indonesia. Dari perspektif pelaku usaha, terutama terkait pemenuhan berbagai bahan baku produksi di Tanah Air. Ia berharap Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku yang diimpor yang saat ini masih mencapai 76%.
“Kebutuhan bahan baku dan penolong bagi industri pengolahan nonmigas, hingga kini sulit dipenuhi dari dalam negeri. Padahal salah satu cara menggenjot investasi adalah dengan mengurangi ketergantungan impor bahan baku atau raw material. Dengan begitu akan mengurangi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Oleh karena itu, pendukungnya perlu terus dibenahi, mulai dari perpajakan, birokrasi, termasuk dukungan infrastruktur. Tentu dari dunia usaha yang paling diharapkan adalah menurunkan biaya logistik,” ungkap Rosan P. Roeslani dalam suatu acara diskusi, di Jakarta.
Sebelumnya, banyak ekonom dan pengamat ekonomi juga menyorot tentang ”debottlenecking infrastruktur” sebagai persoalan nyata yang masih menjadi ganjalan bagi dunia usaha dan percepatan investasi. Buruknya infrastruktur, seperti jalan dan pelabuhan untuk angkutan transportasi dan logistik, kerap menjadi halangan utama bagi masuknya investasi, termasuk aliran modal asing, dan juga menghambat pertumbuhan sektor riil. Rendahnya investasi di bidang infrastruktur menyebabkan biaya logistik meroket.
Tercatat pada periode 2004-2011, rata-rata biaya logistik nasional mencapai 27% dari PDB. Angka ini lebih tinggi dibanding Vietnam (25%), Thailand (20%), Malaysia (13%), dan Singapura sebesar 8%. Tingginya biaya logistik terutama dikarenakan kondisi infrastruktur di Indonesia yang masih lemah.
Dalam laporannya Global Competitiveness Index 2014/15, dalam penilaian indeks daya saing infrastruktur, WEF menempatkan Indonesia diranking ke-34 dari 144 negara. Secara lebih spesifik, kendala pilar infrastruktur antara lain bersumber dari masih rendahnya kualitas jalan, pelabuhan, bandara, kereta, hingga kualitas pasokan listrik.
Gebrakan Pembangunan Infrastuktur
Kendati telah lama dikeluhkan, pembangunan infrastruktur di Indonesia terbilang lamban karena minimnya anggaran. Tercatat hingga pertengahan tahun 1990-an, Indonesia rata-rata hanya mengalokasikan sekitar 8% anggaran infrasruktur terhadap belanja – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan saat terjadi krisis moneter tahun 1997/98, angka itu anjlok menjadi hanya 3% saja.
Padahal Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau, sangat membutuhkan jaringan infrastruktur yang andal untuk konektivitas masyarakat dan mendukung roda perekonomian masyarakat.
Ketertinggalan inilah yang langsung dikejar pemerintahan Presiden Joko Widodo-Yusuf Kalla dengan membuat gebrakan baru pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol. Tidak saja yang ada di darat, tetapi juga infrastruktur tol laut. Hal ini sejalan dengan gagasan program Nawa Cita , di antaranya yakni “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan” – (NKRI).
Program Nawa Cita di antaranya menjanjikan pembangunan sejumlah infrastruktur strategis. Mulai dari akses jalan desa, jembataan, jalan tol, serta sarana pra sarana penunjangnya.
Tak hanya di Pulau Jawa, namun juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Wilayah Indonesia Timur; mencakup akses jalan, fasilitas pelabuhan, bandara, kawasan industri, hingga pasar tradisional untuk menunjang ekonomi masyarakat.
Tekad besar pemerintahan Presiden Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur, mulai diwujudkan dengan mengalokasikan anggaran pembangunan yang lebih besar. Tahun 2015, porsi anggaran pembangunan infrastruktur langsung didongkrak menjadi 14,2% dari sebelumnya yang rata-rata di bawah 10%. Tahun 2016 kembali ditingkatkan menjadi 15,2%, dan terus ditingkatkan pada tahun-tahun berikutnya. Data Kementerian Keuangan RI menunjukkan, rata-rata peningkatan alokasi belanja infrastruktur untuk tahun 2011-2014 versus 2015-2017 mencapai 123,4%.
Tercatat dari 2010-2014, rata-rata belanja infrastruktur pemerintah per tahun di bawah Rp150 triliun. Pada 2015, Presiden Jokowi langsung mengereknya menjadi sebesar Rp256,1 triliun rupiah. Tahun 2017 ditingkatkan menjadi Rp 269,1 triliun, kemudian 2017 menjadi Rp 388,3 triliun, tahun 2018 sebesar Rp 410,4 triliun, dan tahun lalu 2019 naik menjadi Rp 415 triliun.
Sebagian besar untuk pembangunan jalan, tercermin dari porsi alokasi anggaran infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), di mana sekitar sepertiga anggaran tahunan dialokasikan untuk penyediaan dan pengelolaan jalan. Kementerian PUPR sejak 2015 juga banyak memfokuskan diri untuk mempercepat pembangunan sejumlah proyek jalan tol.
Belum lagi pembangunan jalan lainnya, termasuk yang ada di luar Pulau Jawa. Sesuai Visi Nawa Cita, fokus pembangunan infrastruktur tak lagi hanya dilakukan di pusat kota (sentralisasi), namun juga dilakukan di seluruh pelosok Indonesia dan daerah-daerah perbatasan.
Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi menyatakaan, bahwa Indonesia dengan luas 1,91 juta kilometer yang terbentang dari Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua, dan dari Miangas di Sulawesi Utara hingga Pulau Rote di NTT, Indonesia sangat memerlukan pembangunan yang merata. “Membangun Indonesia tidak hanya di Pulau Jawa saja atau “Jawa sentris”, melainkan “Indonesia sentris”, merata di seluruh wilayah,” ujarnya.
Program pembangunan Indonesia dari pinggiran dilakukan dengan memperkuat infrastruktur daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan melalui desentralisasi asimetris, pemerataan pembangunan antar wilayah dengan fokus di desa, termasuk kawasan perbatasan. Tekad memajukan desa diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sekaligus menjadi tonggak baru bagi perubahan paradigma pengaturan desa di Tanah Air Indonesia.
Dalam upaya mendukung pembangunan desa, juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mulai tahun 2015, pemerintah secara bertahap juga mengucurkan dana desa yang hingga kini terus ditingkatkan untuk membiayai berbagai pembangunan, termasuk infrastruktur.
Berdasarkan Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020, salah satu bagian penting dari belanja negara tersebut adalah Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang jumlahnya mencapai Rp856,94 triliun. TKDD tersebut terdiri dari transfer ke daerah sebesar Rp784,94 triliun dan dana desa sebesar Rp72,00 triliun.
Sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Realisasi Belanja Pemerintah Pusat sampai dengan Maret 2020 tumbuh sebesar 6,58% (yoy) dari tahun sebelumnya. Karena adanya Covid-19 dan adanya prioritas yang lebih ditujukan kepada kesehatan, bansos, dan pemulihan ekonomi, diperkirakan belanja modal akan mengalami perlambatan.
Realisasi Belanja Negara tersebut meliputi realisasi Belanja Pemerintah Pusat dan realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Sementara realisasi TKDD sampai dengan Maret 2020 mencapai Rp174,50 triliun yang meliputi Transfer ke Daerah sebesar Rp167,30 triliun dan Dana Desa Rp7,20 triliun.
Prioritas penggunaan Dana Desa didasarkan atas kondisi dan potensi Desa, sejalan dengan pencapaian target RPJM Desa dan RKP Desa setiap tahunnya. Di antaranya meliputi: pembangunan dan pemeliharaan jalan Desa; pembangunan dan pemeliharaan jalan usaha tani, dan lainnya. Tujuan dari semua itu, tak lain untuk mendorong pemerintah desa mewujudkan kesejahteraan bagi warganya, serta menekan ketimpangan pembangunan antara kota dengan desa.
Dampak dan Hasil Pembangunan
Lalu, apa yang sudah dihasilkan dari pembangunan infrastruktur ini ? Tak diragukan, gebrakan pembangunan mengejar ketertinggalan infrastruktur, sudah banyak terlihat hasilnya. Dengan dukungan anggaran yang lebih besar, beberapa proyek pembangunan infrastruktur yang sempat mangkrak, seperti jalan tol Bekasi–Cawang–Kampung Melayu (Becakayu) dengan berkonstruksi layang di atas sungai Kalimalang Jakarta Timur dan Bekasi, juga bisa diselesaikan dengan menelan investasi Rp 7,2 triliun. Begitu juga tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) di Jawa Barat yang sempat tersendat, hingga kini bisa diteruskan.
Berdasarkan data Kementerian PUPR, selama perode I Pemerintah Presiden Jokowi, di antaranya telah membangun jalan desa yang totalnya mencapai 191.000 kilometer. Selain jalan, juga membangun jembatan dengan total 39,8 kilometer dan membangun 164 unit jembatan gantung di desa-desa.
Manfaat jalan dan jembatan ini tentunya banyak sekali. Antardesa jadi terhubung, distribusi bahan-bahan hasil pertanian menjadi mudah, akses anak-anak ke sekolah pun menjadi dekat dan mudah.
Dalam Rapat Koordinasi Dana Desa di Kota Semarang – Jawa Tengah pertengahan Februari 2020 lalu, Kementerian Keuangan melaporkan TKDD khususnya dana desa dalam kurun waktu lima tahun pertama (2015-2019), telah dirasakan manfaatnya bagi masyarakat terutama dengan semakin banyaknya infrastruktur perdesaan yang telah dibangun dari Dana Desa.
Beberapa infrastrukur logistik ekonomi juga berhasil dibangun, termasuk jaringan Tol Trans Jawa, Trans Sumatera, dan lebih dari 1000 km jalan perbatasan. Proyek jalan tol yang sempat mangkrak, juga bisa diteruskan.
Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono dalam keterangan tertulis sebagaimana dilansir dalam web resmi Kementerian PUPR beberapa waktu lalu mengungkapkan, sesuai visi Nawacita, pembangunan infrastruktur di kawasan perbatasan juga menjadi prioritas Kementerian PUPR dalam lima tahun terakhir. Pembangunan jalur perbatasan direncanakan 1.098,2 km dan sebagian sudah tersambung. Di antaranya jalan perbatasan RI-Timor Leste di NTT sepanjang 176,2 Km telah rampung. Jalan perbatasan di Kalimantan dari panjang 1.906 Km telah tembus 1.692 Km. Di Papua, jalan perbatasan sudah tembus dengan total 1.098 Km.
Selain konektivitas di perbatasan, Kementerian PUPR pada masa kabinet kerja telah menyelesaikan 7 Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yakni Aruk, Entikong dan Badau di Kalimantan, Wini, Motaain dan Motamasin di NTT dan Skouw di Papua. Setiap PLBN dilengkapi dengan bangunan pasar. Kawasan perbatasan diharapkan menjadi embrio pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Kementerian PUPR juga membangun jembatan gantung yang menghubungkan antardesa. Tahun 2015 sebanyak 10 unit jembatan gantung, tahun 2016 sebanyak 7 unit dan tahun 2017 sebanyak 13 unit dan tahun 2018 sebanyak 134 unit di beberapa wilayah di Indonesia. Di wilayah barat, Sumatera pun tak ketinggalan.
Pembangunan infrastruktur yang mulai digencarkan dari awal kepemimpinan Presiden Jokowi pada tahun 2014, juga memiliki korelasi positif terhadap pengembangan daerah-daerah yang terlewati proyek tersebut. Pembangunan infrastruktur bisa mendorong peningkatan kapasitas produksi perekonomian, menghubungkan kutub-kutub pertumbuhan/aglomerasi ekonomi.
Dilihat dari Global Competitiveness Report (2016-2017) Indonesia dengan kondisi infrastrukturnya mendudukui peringkat ke-60 dari 138 negara di dunia, yang mana mengalami peningkatan dari lima tahun lalu tepatnya pada tahun 2012-2013 di peringkat ke-78 dari 138 negara yang ada. Itulah makanya, untuk meningkatkan daya saing dan peringkat, pemerintah terus mengejar pembangunan infrastruktur yang tersebar di seluruh wilayah nusantara.
Peran Besar BUMN – PT. Hutama Karya (Persero)
Pada periode ke-2 ini, Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan Wapres KH. Ma’ruf Amin, tetap konsisten mengejar pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritas, selain pembangunan sumber daya manusia (SDM). Tak hanya fokus di Pulau Jawa, namun juga pulau-pulau lainnya di luar Jawa.
Dalam rangka mengakselerasi, anggaran infrastruktur dalam postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 juga ditingkatkan sebesar 4,9% menjadi Rp 419,2 triliun. Di antaranya terdiri atas infrastruktur ekonomi sebesar Rp 405,1 triliun, infrastruktur sosial Rp 8,7 triliun, dan dukungan infrastruktur sebesar Rp 5,3 triliun. Terutama untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur yang masuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN).
Mengingat kebutuhan investasinya yang besar, Presiden Jokowi juga mengerahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) papan atas untuk ikut menggarap pembangunannya. Tak terkecuali PT. Hutama Karya (Persero), perusahaan BUMN yang pada 29 Maret 2020 lalu, merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-59.
Dalam rangkaian HUT tahun ini, Hutama Karya mengangkat tema “Menghubungkan Kebaikan untuk Indonesia Maju”. Tema ini sengaja diusung sebagai representasi inti bisnis perusahaan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu membangun konektivitas darat. Di samping itu, juga menjadi optimisme dan harapan perusahaan, agar dalam setiap langkah dan karya yang dihasilnya, bisa bermanfaat dan memberikan kebaikan bagi masyarakat luas, sejalan dengan visi Pemerintah yakni untuk mewujudkan Indonesia Maju.
Sejak berdiri dan berkiprah di bidang konstruksi pada tahun 1961, Hutama Karya yang merupakan pioneer dalam mengerjakan proyek-proyek konstruksi dan infrastruktur di Tanah Air, juga telah menyelesaikan sejumlah proyek strategis. Mulai dari pembangunan jalan, jembatan, gedung, bendungan, bandar udara, hingga proyek pembangkit listrik.
Sederet karya monumental yang pernah dikerjakan, di antaranya Gedung DPR/MPR RI, Patung Monumen Dirgantara (Pancoran), Jembatan Ampera, Jembatan Youtefa, dan masih banyak lagi lainnya. Hingga kini, Hutama Karya tak pernah berhenti berkontribusi membangun bangsa melalui karya-karya konstruksinya yang inovatif dan berkualitas tinggi.
Dengan keandalan dan reputasinya, BUMN ini juga dipercaya untuk membangun dan mengembangkan proyek-proyek infrastruktur strategis di Tanah Air. Melalui Peraturan Presiden (PP) No. 100 Tahun 2014 yang kemudian diubah dengan PP Nomor. 117 Tahun 2015, BUMN Hutama Karya diberi tugas dan amanah untuk membangun dan mengembangkan Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS). JTTS merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pembangunannya diprioritaskan pemerintah.
Penugasan ini juga menjadi momentum bagi Hutama Karya untuk mentransformasi dirinya menjadi perusahaan pengembang infrastruktur. Melalui penugasan ini pula, Hutama Karya kini memiliki satu lini bisnis tambahan utama yaitu Pengembang Jalan Tol.
Sesuai dengan mandat Pemerintah RI yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 100 tahun 2014 yang diperbaharui melalui Peraturan Presiden No. 117 tahun 2015, Hutama Karya mendapatkan penugasan pembangunan dan pengusahaan 24 ruas Jalan Tol Trans-Sumatera sepanjang kurang lebih 2.770 km, dengan prioritas di 8 ruas sepanjang kurang lebih 644 km.
Dengan adanya Jalan Tol Trans Sumatera, diharapkan terjadi pertumbuhan dan perkembangan positif di berbagai lini bagi masyarakat Sumatera. Di antaranya biaya logistik yang semakin rendah, percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, peningkatan daya saing produk lokal unggulan, termasuk menambah pemasukan pajak dan aset negara.
Proyek infrastruktur JTTS ini akan menghubungkan Lampung dan Aceh melalui 24 ruas jalan berbeda sepanjang kurang lebih 2.770 kilo meter (km) yang ditargetkan beroperasi penuh pada 2024. Pembangunan JTTS dimulai dengan peletakan batu pertama Tol Bakauheni-Terbanggi Besar dilakukan oleh Presiden Jokowi pada 30 April 2015, sekaligus menjadi tonggak awal pengerjaan Tol Trans Sumatera yang menghubungkan Lampung-Aceh, termasuk lintas penghubungnya yang hingga kini terus berlangsung pembangunannya.
Dengan geografi wilayah dan geoteknik lahan yang menantang ini, Hutama Karya , tak pelak harus kerja keras. Apalagi melihat kondisi di sejumlah ruas JTTS yang variatif. Mulai dari tanah lunak, berpasir, gambut, hingga batuan dengan kondisi rawa, hingga berbukit. Sehingga, diperlukan penanganan khusus dalam pengerjaan konstruksinya. Misalnya untuk lahan yang banyak rawa, harus disedot airnya (vacuum preloading), ditata tanahnya. Sementara untuk daerah yang terlalu panjang dengan kondisi rawa yang dalam, harus menggunakan tiang pancang, sehingga butuh tenaga dan pemikiran ekstra.
Dengan kondisi lahan yang beragam di ruas jalan yang akan dibangun, juga dituntut bisa mengedepankan keahlian di jajarannya.
Namun demikian, Direktur Utama Hutama Karya, Budi Harto yang baru dilantik 5 Juni lalu menggantikan Bintang Perbowo, pihaknya menyatakan optimistis bisa mengejar target pembangunan jalan tol Trans Sumatera ini. Dia menyatakan dan mengharapkan, Trans Sumatera bisa berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
Mengutip pernyataan Senior Executive Vice President (SEVP) of Corporate Secretary PT Hutama Karya (Persero), Muhammad Fauzan dalam rilisnya beberapa waktu lalu, hingga Juni 2020, Hutama Karya telah membangun JTTS sepanjang ±588 KM dengan 368 KM ruas tol yang telah beroperasi secara penuh.
Adapun ruas tol yang telah dioperasikan tersebut yakni ruas Medan – Binjai seksi 2 & 3 sepanjang (17 KM), ruas Palembang – Indralaya (22 KM), ruas Bakauheni – Terbanggi Besar (140 KM), ruas Terbangi Besar – Pematang Panggang – Kayu Agung (189 KM).
Untuk memacu dan memberikan semangat, Presiden Indonesia, Joko Widodo juga telah beberapa kali melakukan kunjungan kerja langsung ke proyek JTTS yang sedang di kerjakan Hutama Karya di lapangan. Di antaranya ruas Pekanbaru – Dumai (Permai) sepanjang 131 km pada (21/2/2020) lalu. Didampingi oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono; Kepala BPJT Danang Parikesit; serta Direktur Utama Hutama Karya, Bintang Perbowo (saat itu), Presiden juga memberikan arahan-arahan untuk percepatannya.
Target Hutama Karya Tahun 2020
Hutama Karya juga terus berupaya memberikan upaya terbaiknya dalam membangun Jalan Tol Trans Sumatera, agar ruas-ruas yang masih dalam tahap konstruksi dapat rampung sesuai target. Pada tahun 2020, Hutama Karya menargetkan penyelesaian pembangunan JTTS di beberapa ruas yang jadi prioritas.
Di antaranya jalan tol Pekanbaru – Dumai sepanjang 131 km dimana progress konstruksi sudah selesai dan siap dioperasikan. Sesuai dengan arahan Kementerian PUPR sebagai regulator Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS), PT Hutama Karya (Persero) juga telah melaksanakan proses Uji Laik Fungsi (ULF) yang dilakukan mulai dari seksi 2 (Minas – Kandis Selatan) hingga seksi 6 (Duri Utama – Dumai). Sebelumnya, seksi 1 (Pekanbaru – Minas) sepanjang 9,5 KM juga telah dibuka secara fungsional pada bulan Mei lalu.
“Kegiatan ULF dilakukan pada tanggal 17-19 Juni 2020 dan berjalan lancar dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Jadi selama tiga hari tersebut, kami bersama beberapa stakeholder melakukan rangkaian ULF mulai dari pembukaan, peninjauan ke lapangan, hingga pembahasan atas temuan catatan dari kegiatan ULF ini,” ungkap Senior Executive Vice President (SEVP) Divisi Pengembangan Jalan Tol (PBJT) Hutama Karya, Agung Fajarwanto dalam rilis persnya, (25/06) lalu.
Ruas jalan tol lain yang masih dalam pengerjaan yakni ruas Sigli – Banda Aceh seksi 4 Indrapuri – Blang Bintang sepanjang 13,5 km dengan progress konstruksi telah mencapai 99%, serta terakhir ruas Medan – Binjai seksi 1 Tanjung Mulia – Helvetia sepanjang 6 km yang ditargetkan pertengahan tahun ini.
Untuk kelancaran proyek-proyeknya, Hutama Karya tahun ini mendapat suntikan “darah segar” yang akan menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp11 triliun. Sebagaimana dirilis Hutama karya, sebelumnya pemerintah telah menyetujui untuk memberikan suntikan berupa PMN kepada Hutama Karya pada tahun 2020 sebesar Rp3,5 Triliun. Namun, melalui keterangan persnya pada tanggal 18 Mei 2020 terkait Program Pemulihan Ekonomi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa Hutama Karya menjadi salah satu BUMN yang masuk dalam prioritas penanganan dampak pandemi COVID-19.
Hal ini didasarkan pada kriteria yang telah disusun oleh pemerintah yakni, pengaruh terhadap hajat hidup orang banyak, peran sovereign yang dijalankan BUMN, eksposur terhadap sistem keuangan, dan kepemilikan pemerintah serta total aset yang dimiliki. Hutama Karya dinilai telah mencapai kriteria tersebut, sehingga Hutama Karya rencananya akan kembali menerima PMN sebesar Rp7,5 Triliun di 2020. Dengan begitu, total keseluruhan PMN yang akan diterima Hutama Karya di tahun 2020 menjadi Rp11 triliun.
PMN ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23/2020 tentang Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Keseluruhan dana PMN yang diterima Hutama Karya akan digunakan perusahaan untuk melanjutkan pembangunan JTTS di beberapa ruas antara lain ruas Pekanbaru – Dumai sepanjang 131 km (2 Triliun), ruas Sp. Indralaya – Muara Enim sepanjang 119 km (3,2 Triliun), ruas Pekanbaru – Pangkalan sepanjang 95 km (Rp 4,3 triliun), serta menutup pembiayaan untuk ruas tol yang telah selesai yaitu ruas Terbanggi Besar – Pematang Panggang – Kayu Agung sepanjang 189 km (Rp 1,5 triliun).
Selain mengerjalan jalan tol, sejak tahun 2016, PT Hutama Karya sebagai BUMN juga diberikan kepercayaan menangani operasional Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road Seksi S (JORR-S) dari pintu Pondok Pinang (20+000) hingga pintu Kampung Rambutan (32+400). Hal ini merupakan tindak-lanjut atas eksekusi putusan Mahkamah Agung Nomor 720 K/PID/2001 tgl 11 Oktober 2001 yang telah dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2016. Dari pendapatan atas pengelolaan jalan tol JORR S ini, tentu dapat digunakan untuk mendukung perusahaan dalam membangun infrastruktur Indonesia yang sangat diperlukan saat ini yang juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Percepatan Untuk Dorong Kemandirian Ekonomi
Dalam rangka memberikan daya ungkit percepatan pemulihan ekonomi nasional Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam suatu kesempatan memimpin rapat Rapat Terbatas (Ratas) mengenai percepatan pembangunan proyek strategis nasional jalan tol, utamanya di Sumatera yakni Trans Sumatera dan kedua di Cisumdawu, meminta agar dilakukan percepatan dalam penyelesaian JTTS. Sebagaimana dirilis Humas Kemensetneg, percepatan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di Pulau Sumatra, sehingga akan terjadi efisiensi, waktu tempuh, dan meningkatkan fungsi multiplier effect dua sampai tiga kali lipat terhadap PDB.
Pembangunan Tol Trans Sumatera yang akan menghubungkan provinsi paling atas hingga paling bawah di Pulau Sumatera, diharapkan mampu menumbuhkan simpul-simpul perekonomian yang baru. Kebermanfaatan infrastruktur dalam jangka pendek dan jangka panjang, akan berdampak langsung bagi masyarakat. Selain mendukung kelancaran mobilitas dan konektivitas, infrastruktur juga akan menunjang produktivitas untuk kemajuan ekonomi masyarakat menuju Indonesia yang mandiri.
Sebagai pulau terbesar kedua di Nusantara dengan populasi melebihi 55 juta jiwa, Sumatera memainkan peran penting dalam perekonomian negara. Pulau ini dianugerahi beragam potensi alam dan komoditas berlimpah, mulai dari karet, minyak kelapa sawit, kopi, minyak bumi, batu bara, gas alam, dan lainnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2015 Sumatera menyumbang 22,21% produk domestik bruto (PDB) Indonesia, terbesar kedua setelah Jawa. Karena itulah, infrastruktur di Sumatera juga terus dikejar untuk mendukung kemajuan dan keberlanjutan perekonomian di kawasan tersebut.
Beberapa sektor potensial yang bisa mendukung kemandirian ekonomi, seperti hasil pertanian, perkebunan, perikanan, hingga hasil tambang dan migas. Berdasarakan riset yang dipublikasikan Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan 2014 yang didukung data BPS menunjukkan, sektor pertanian masih memberikan peranan yang cukup penting (22,27%) dalam struktur ekonomi wilayah Sumatera. Dalam hal ini, penentuan komoditas unggulan menjadi penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa komoditas yang jadi unggulan. Antara lain sektor pertanian unggulan di wilayah Sumatera pada subsektor tanaman pangan adalah padi, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, dan Ubi Jalar, dengan wilayah potensial meliputi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu,Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Hortikultura yang unggul terdiri dari Alpukat, Duku/Langsat, Durian, Jambu Biji, Mangga, Manggis, Pepaya, Rambutan dan Sawo. Hampir seluruh wilayah di Sumatera unggul untuk pengembangan hortikultura, kecuali Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung.
Perkebunan yang unggul meliputi Karet, Kelapa, Kopi, dan Tembakau dengan wilayah unggulan meliputi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung dan Kepulauan Riau. Hutan yang unggul adalah hutan lindung, dan hutan suaka alam dan peletarian alam dengan wilayah unggulan Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Bengkulu. Subsektor peternakan yang unggul meliputi Ayam Pedaging, Sapi, dan Kambing dengan wilayahunggulan Aceh dan Sumatera Utara. Subsektor Perikanan dengan komoditas unggulanmeliputi perikanan laut, budidaya laut, kolam dan sawah dengan wilayah unggulan terdiri dari Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampungdan Kepulauan Riau.Kata Kunci : Basis, Non Basis, Pertanian.
Komoditi lain yang juga andalan yakni kelapa sawit. Misalnya Sumatera Utara yang menjadi salah satu daerah penghasil terbesar komoditi Kelapa Sawit (Alaeis) dimana pertumbuhan luas areal selama 4 (empat) tahun terakhir mencapai 1,49 % per tahun. Menurut data statistik Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, luas areal kelapa sawit pada tahun 2015 mencapai 1.206.166,76 hektar dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 menjadi 1.260.080,95 hektar.
Dengan akses jalan dan transportasi logistik yang makin mendukung, tentu akan meningkatkan daya saing komoditi tersebut. Secara operasional dengan adanya jalan tol, juga berdampak positif terhadap transportasi logistik dan Supply Chain dan pengiriman barang juga menjadi lebih cepat.
Misalnya Ruas Tol Bakauheni – Terbanggi Besar (Bakter) yang merupakan jalan tol terpanjang kedua di Indonesia, mulai dari Pelabuhan Bakauheni (Kabupaten Lampung Selatan) hingga Terbanggi Besar (Kabupaten Lampung Tengah) dengan panjang 140 Km. Tol Bakter terbagi menjadi empat seksi yakni Seksi 1 (Bakauheni – Sidomulyo), Seksi 2 (Sidomulyo – Kotabaru), Seksi 3 (Kotabaru – Metro) dan Seksi 4 (Metro – Terbanggi Besar). Tol yang memiliki nilai investasi sebesar Rp 16,7 Triliun ini telah resmi dioperasikan pada Maret 2019.
Dengan berperasinya jalan tol ini, bisa memangkas waktu tempuh. Misalnya Bakauheni hingga Kayu Agung yang hanya sekitar 5,4 jam dengan asumsi kecepatan rata-rata 60 kilometer per jam. Sementara jika melalui jalan biasa, waktu tempuhnya bisa mencapai 12 jam hingga 15 jam. Selain waktu tempuh, keberadaan jalan tol juga bakal menghindarkan pengemudi kendaraan dari gangguan keamanan dan praktik pungutan liar (pungli).
Pembangunan JTTS ini juga disinergikan dengan industri dan pariwisata, sehingga juga bisa menjadi daya dukung pengembangan objek-obyek wisata dan industri yang ada di Pulau Sumatera. Di antaranya Pemerintah melalui Hutama Karya tengah membangun Jalan Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat untuk mempermudah akses dari Medan ke Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KSPN) Danau Toba, Sumatera Utara.
Jalan tol sepanjang 143,5 km ini masih merupakan bagian dari pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) dan menjadi lanjutan dari Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi (MKTT) sepanjang 61,72 km. Sebelumnya, jalan tol MKTT yang dibangun oleh PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (Jasa Marga), tersebut telah rampung dan beroperasi penuh pada tahun 2019 serta terhubung dengan Jalan Tol Belawan-Medan-Tanjung Morawa (Balmera).
Mengutip laman bpjt.pu.go.id, pembangunan jalan tol ini ditugaskan kepada Hutama Karya selaku BUMN bersama 2 (dua) BUMN lainnya, yaitu Jasa Marga dan anak perusahaan PT Waskita Karya (Persero) Tbk., yaitu PT Waskita Toll Road (WTR). Ketiganya membentuk Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yakni PT Hutama Marga Waskita (Hamawas), khusus untuk pembangunan Jalan Tol Kuala Tanjung – Tebing Tinggi – Parapat. Hamawas menargetkan tol akan beroperasi penuh di tahun 2020 dengan masa konsesi selama 40 tahun, dengan pembangunan membutuhkan biaya investasi sekitar Rp13,4 Triliun, termasuk biaya konstruksi sebesar Rp 9,6 triliun.
Dalam rilis persnya (19/06/2020), Direktur Utama Hamawas, Wikumurti mengatakan, setelah terhubung, jarak dari kota Medan menuju Danau Toba dapat ditempuh hanya dalam waktu sekitar 1,5 jam. Tak hanya efisiensi waktu tempuh, hadirnya tol ini akan memperbanyak aksesibilitas ke destinasi wisata yang wajib dikunjungi oleh para turis saat berlibur di Sumatra Utara, sehingga mereka mempunyai banyak pilihan jalur transportasi mulai dari moda transportasi udara, laut, hingga darat.
“Jalan tol ini juga strategis untuk angkutan logistik Pelabuhan Kuala Tanjung dan penghubung lokasi Wisata Danau Toba untuk daya tarik wisatawan maupun investor untuk pengembangan kawasan sekitar jalan tol.” ungkap Wikumurti.
Ruas tol lain yang cukup startegis, misalnya Jalan Tol Palembang – Tanjung Api-Api yang merupakan ruas strategis yang menjadi penghubung utama bagi arus kendaraan yang mengangkut orang maupun barang dari Palembang menuju KEK Tanjung Api-api yang kini sedang dikembangkan. Kawasan KEK Tanjung Api-api ini merupakan sentra industri kelapa sawit dan industri pengolahan ekspor.
Begitu pula sejumlah ruas tol lain, seperti tol Pekanbaru – Dumai (Permai) sepanjang 131 km. Tol ini akan berperan penting pada pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau dimana akan menjadi Hub ekonomi Sumatera- Asean. Dampaknya akan sangat tinggi terutama bagi para pengusaha lokal dan warga setempat, ekonomi akan tumbuh signifikan. Dalam pelaksanaannya, proyek tol Bakauheni-Terbanggi Besar ini juga menyerap banyak tenaga kerja hingga ribuan orang, untuk tenaga konstruksi maupun tenaga operasi.
Di era pasar global, suka tidak suka Indonesia harus siap dan mempersiapkan diri dengan daya infrastruktur ini. Riau akan menjadi provinsi yang menjanjikan untuk investasi maupun berwisata. Tak pelak keberadaan tol Permai disambut baik oleh asosiasi pengusaha dimana akan berdampak pada pergerakan ekonomi dan mempermudah arus perdagangan, karena Dumai akan menjadi pintu masuk bagi 48% pedagang dunia melalui Selat Malaka.
Dengan angkutan logistik yang makin lancar, potensi ekonomi dan sumber daya yang ada, tentu bisa lebih dioptimalkan menuju kemandirian ekonomi nasional. Dengan kata lain, ketersediaan infrastruktur yang memadai, juga akan mendukung bidang ketahanan pangan yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri.
Pola pikir kemandirian ekonomi seperti ini, harus konsisten dibangun untuk generasi mendatang. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi yang pro-rakyat, seperti melalui kosisteni membangun infrastruktur, seperti jalan tol yang kini sedang digalakkan pemerintah, sangatlah tepat.
Itulah makanya sesuai tema HUT tahun ini “Menghubungkan Kebaikan untuk Indonesia Maju”, Hutama Karya melalui proyek yang dikerjakan, tak henti terus menebar kebaikan untuk masyarakat luas. Sejak pendiriannya di tahun 1961 hingga hari ini, Hutama Karya tak pernah berhenti berkontribusi membangun bangsa melalui karya-karya konstruksinya yang inovatif dan bermutu tinggi.
Dengan hadirnya jalan tol yang menghubungkan antar wilayah di Sumatera, selain sebagai sarana konektivitas dan mobilitas pengguna jalan, juga ikut menggiatkan ekonomi masyarakat. Mulai dari aktivitas perdagangan, mobilitas orang dan distribusi barang hasil perkebunan, pertanian dari pedesaan ke pusat perdagangan, pasar, bahkan juga untuk tujuan ekspor makin mudah.
Hal ini sejalan dengan hasil riset mahasiswa di Universitas Lampung tahun 2020 bertajuk “Dampak Keberadaan Jalan Tol Trans Sumatra Terhadap kesejahteraan Masyarakat ” dengan sampel masyarakat di Lampung Selatan-Sumatera Selatan. Secara umum, meskipun pekerjaan dan pendapatan mereka belum banyak yang berubah, namun masyarakat optimistis dampak positif bagi ekonomi jangka panjangnya.
Sebagaimana diungkapkan Senior Executive Vice President Hutama Karya, Muhammad Fauzan, dalam mengembangkan sejumlah ruas JTTS agar tetap lebih bernilai dari sisi ekonomi, Hutama Harya juga akan mengembangkan Value Capture dan Value Creation dari jalan tol. Value Capture dilakukan dengan memanfaatkan kesempatan bisnis untuk menghasilkan keuntungan yang mendukung pembiayaan pembangunan JTTS selanjutnya. Begitu juga Value Creation untuk melaksanakan pengusahaan JTTS agar menghasilkan manfaat semaksimal mungkin bagi masyarakat/pengguna JTTS.
Selain itu, setelah tol selesai dibangun, Hutama Karya juga akan mengembangkan Kawasan Industri, Residensial, Pariwisata, dan Mix-Use Area. Sehingga hadirnya tol juga akan membuka lapangan kerja dan konektivitas baru daerah sekitar. Saat pembangunan saja sudah puluhan tenaga kerja lokal yang diberdayakan, apalagi nanti saat sudah operasional.
Sebagai salah satu program utama dalam visi dan misi pemerintah, pembangunan dan pengembangan sektor infrastruktur jalan tol, bisa jadi pondasi untuk dapat mewujudkan kemandirian ekonomi nasional. Infrastruktur dapat dikatakan sebagai bagian yang penting bagi sebuah negara, terutama di Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
Pengaruh infrastruktur pada perekonomian negara dapat dilihat pada publikasi yang berjudul World Development Report. Publikasi ini dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 1994 yang mengatakan bahwa kenaikan infrastruktur sebesar satu persen (1%) saja, dapat menyebabkan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 7% sampai 44%, kisaran angka yang sangat signifikan jika dapat dimaksimalkan.
Peningkatan tersebut terjadi karena turunnya biaya logistik, terbangunnya fasilitas publik seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana lainnya, penciptaan lapangan kerja, hingga terhubungnya konektivitas darat, laut, hingga udara adalah sebagian potret efek dari pembangunan infrastruktur.
Infrastruktur, termasuk jalan tol memiliki arti yang besar yang bisa menciptakan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru, menciptakan perbaikan jaringan logistik yang lebih baik, mencipataan lapangan pekerjaan yang akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat menuju kemandirian yang merupakan hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya.
Karena itu, tak berlebihan jika selama 59 tahun berkiprah, Hutama Karya juga tidak sekedar membangun, namun turut hadir dan mensejahterakan masyarakat di sekitarnya. Termasuk melalui program-program bantuan seperti Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), serta Corporate Social Responsibility (CSR).
Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang 100% dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia, PT. Hutama Karya (Persero) menjalankan program tanggung-jawab sosial perusahaan dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan Badan Usaha Milik Negara.
Di tengah pandemi Covid-19, PT Hutama Karya (Persero) juga menyalurkan bantuan serentak berupa uang tunai dan paket sembako kepada masyarakat yang tedampak serta beberapa lembaga yang berkontribusi aktif dalam penanganan dan pencegahan pandemi Covid-19.
Senior Executive Vice President Sekretaris Perusahaan Hutama Karya, Muhammad Fauzan dalam rilis pers belum lama ini menyatakan, penyaluran bantuan ini sejalan dengan arahan konkrit Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir untuk melakukan realokasi Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2020 Direksi dan Dewan Komisaris Hutama Karya baik di kantor pusat, anak perusahaan, hingga afiliasi untuk kegiatan dan atau donasi kemanusiaan terkait penanggulangan Covid-19.
Tak hanya itu, secara sukarela, seluruh direksi baik di kantor pusat, anak perusahaa, dan afiliasi; hingga seluruh pegawai Hutama Karya menyisihkan sebagian dari gaji bulanan mereka selama 3 bulan yang dimulai sejak bulan April hingga Juni. Melalui program penggalangan dana Hutama Karya Menghubungkan Kebaikan sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian Insan Hutama Karya pada pencegahan Covid-19.
Dana yang terkumpul digunakan untuk membantu meringankan beban masyarakat yang terdampak Covid-19 mulai dari kalangan pegawai, warga sekitar kantor pusat Hutama Karya, hingga masyarakat di sekitar proyek yang dikerjakan Hutama Karya di seluruh Indonesia. Terutama di proyek Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS).
“Total bantuan tahap pertama senilai Rp 5,2 Miliar disalurkan dalam bentuk uang tunai dan paket sembako kepada lebih dari 3.000 anggota masyarakat serta kepada lebih dari 100 lembaga seperti rumah sakit, puskesmas, pondok pesantren, posko tanggap darurat, yayasan yatim piatu, hingga tempat ibadah,” ujar Muhammad Fauzan.
Tentu tak hanya ini, sebelumnya perusahaan juga telah banyak menyalurkan berbagai bantuan serupa, termasuk bagi kemitraan dalam program PKBL. Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri sekaligus memberikan efek berantai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah kerja dan proyek Hutama Karya. Bentuk program yang dilakukan adalah memberikan pinjaman modal kerja untuk meningkatkan produksi/pemasaran/lainnya. Selain pinjaman, Hutama Karya selaku BUMN Pembina juga menyelenggarakan kegiatan pelatihan/pembinaan para Mitra Binaan agar semakin mengikuti perkembangan dunia usaha.
Tercatat dana kemitraan pada tahun 2018 Hutama Karya mencapai Rp 25,8 miliar, tahun 2019 hingga semester II naik 21,85% menjadi Rp31,4 miliar. Begitu juga untuk dana dalam program Bina Lingkungan, tahun 2018 mencapai Rp 28,1 miliar, tahun 2019 hingga semester II naik menjadi Rp 46,1 miliar.
Muhammad Fauzan dalam rilis pers (29/06/2020) mengungkapkan, selama pandemik berlangsung hingga saat ini, Hutama Karya telah menyalurkan sebanyak Rp 1,7 miliar kepada UMKM. Total UMKM yang dibantu ada sebanyak 7 usaha yang tersebar di Jabodetabek dan Sumatera Utara. Harapannya, melalui penyaluran ini, dapat mendorong UMKM lokal dan mitra binaan untuk terus berproduksi dan menyeimbangkan daya jual usahanya.
Selain untuk mendorong produksi UMKM dan mitra binaan, dana bergulir dalam program kemitraan Hutama Karya juga dimaksudkan agar kondisi para mitra binaan tidak tertekan akibat pandemi Covid-19.
“Ketika Hutama Karya memutuskan untuk mengelola mitra binaan, maka kita memiliki tanggung jawab untuk terus hadir bagi mereka termasuk dalam kondisi seperti saat ini,” ujarnya.
Dengan demikian, dari semua proyek yang dibangun selama ini, PT Hutama Karya juga turut menumbuhkan titik- titik ekonomi baru di sekitar proyek, yang juga akan berdampak luas bagi ekonomi masyarakat. Setiap tahun perusahaan juga mengalokasikan dukungan dana, seperti CSR, PKBL, maupun dana kemitraan untuk mendukung permodalan bagi para pelaku UMKM. Sehingga mereka bisa makin berdaya saing dan mampu mendukung bagi upaya mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat di Tanah Air Indonesia. (Ahmad Churi)
ujarnya.
(Ahmad Churi)