Yudhi Arieffianto General Manager IT PT Phapros Tbk (PEHA) mengatakan transformasi digital sudah menjadi kebutuhan di industri farmasi. Menurutnya, ada sejumlah alasan mengapa hal itu terjadi.
“Pertama, karakteristik industri farmasi yang berkaitan erat dengan berbagai regulasi pemerintah dalam proses bisnisnya. Seperti regulasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), penggunaan bahan, pengolahan, infrastruktur hingga sistem komputerisasinya,” katanya dalam acara webinar Pemanfaatan Teknologi Digital dalam Industri Farmasi, di Jakarta, 11/05/2023.
Kedua, berbagai proses bisnis tersebut tentu saja membutuhkan adopsi teknologi, mulai dari bagian produksi hingga rantai pasokannya. Dimana, pemilihan teknologinya dipengaruhi oleh produk yang dipasarkan dan yang paling berkontribusi terhadap pertumbuhan perusahaan.
“Industri farmasi merupakan industri padat modal yang tidak saja membutuhkan investasi besar pada mesin, tapi juga kualifikasi ruangan serta persyaratan infrastruktur,” kata Yudhi.
“Teknologi itu butuh investasi, saat kesenjangan proses sudah teridentifikasi, maka saat itu sudah bisa dicari teknologi yang sesuai dengan portofolio produk kita dan kebutuhan kita,” tegasnya.
Ketiga, sebagaimana terjadi di industri lainnya, pandemi COVID-19 yang mempercepat proses transformasi digital di industri farmasi.
Manfaat Digitalisasi Bagi Industri Farmasi
Menurut Yudhi, banyak manfaat yang didapat oleh industri farmasi dengan menjalankan transformasi digital.
“Banyak operasional bisnis saat ini bisa dipersingkat dan lebih efisien karena adanya teknologi yang memadai,” katanya.
Ia pun mencontohkan manfaat teknologi dari sisi penghematan. Dengan pemilihan teknologi yang bisa menghemat waktu sekian jam dalam proses produksi atau manajemen kemudian dikalkulasikan menjadi nilai uang dalam rupiah.
“Anggap saja penghematannya senilai Rp 100 juta, sedangkan harga teknologinya Rp 500 juta. Artinya, dalam lima bulan modal sudah bisa kembali,” tuturnya.
“Digitalisasi teknologi juga bisa membantu tim operasional seperti melakukan pengecekan status produksi, kendala yang sedang dihadapi, titik kemacetan atau bottle neck, yang semuanya bisa divisualisasi. Sebelumnya, tim lapangan tidak punya akses untuk melihat product availability sehingga banyak yang luput untuk diawasi,” imbuhnya.
Manfaat berikutnya dari sisi pengadaan, lanjut Yudhi, ketika kita menerima terlalu banyak pesanan, maka butuh sistem reminder agar tidak terlewat. Teknologi dapat diterapkan pada sistem monitoring untuk melihat apakah barangnya sudah datang atau belum, sudah ditempatkan atau belum, juga apakah sudah terdistribusi atau masih di pabrik.
Digitalisasi di Phapros
Mengenai digitalisasi di Phapros, Yudhi mengutarakan bahwa prosesnya cukup kompleks, karena terkait dengan regulasi dari otoritas yang berwenang. Ia mencontohkan bahwa ada teknologi Laboratory Management System (LIMS), teknologi yang jadi mandatori bagi industri farmasi.
“Jika membeli LMS biayanya sangat mahal. Sedangkan, kalau dikembangkan sendiri secara kalkulasi bisa lebih efisien, kebutuhan user dan kewajiban terhadap regulator pun terpenuhi,” ungkapnya.
Mengenai pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI), Yudhi mengatakan bahwa AI merupakan teknologi yang bisa memprediksi suatu pola.
“Di luar negeri, industri farmasi sudah ada yang mengembangkan kecerdasan buatan untuk memprediksi senyawa dalam penggunaan obat. Hal tersebut sangat memungkinkan karena di negara-negara maju database bahan farmasi sudah sangat lengkap,” tuturnya.
“Di Indonesia, beberapa pelaku industri farmasi sudah mulai ke arah sana. Termasuk juga Phapros, meski tentu jalannya masih agak panjang. Salah satu yang menjadi tantangan penerapan AI adalah validitas, karena farmasi sangat bergantung pada validitas,” pungkasnya.
Baca juga: Indonesia Didorong Kembangkan Model Layanan Telefarmasi