IBM baru-baru ini mengeluarkan Laporan Tahunan Kerugian Pelanggaran Data (Cost of a Data Breach Report). Dari laporan ini terungkap bahwa rata-rata kerugian dari kebocoran data di kawasan Asia Tenggara mencapai rekor tertinggi sebesar USD 3,23 juta pada tahun 2024, meningkat 6% dibanding tahun sebelumnya.
Organisasi-organisasi infrastruktur penting di Asia Tengara mengalami kerugian tertinggi, dengan sektor layanan keuangan mencatat kerugian paling besar dibanding industri lainnya (USD 5,57 juta), diikuti oleh sektor industri (USD 4,18 juta) dan teknologi (USD 4,09 juta). Untuk wilayah Asia Tenggara, laporan tahun 2024 tersebut menyertakan sampel dari klaster perusahaan yang berada di Singapura, Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Di Asia Tenggara, 56% dari organisasi yang disurvei telah menerapkan kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi keamanan di seluruh pusat operasi keamanan mereka (Security Operation Center/SOC), meningkat hampir 8% dari tahun sebelumnya.
Ketika teknologi ini digunakan secara lebih mendalam, perusahaan dapat mengurangi siklus kebocoran data sebanyak 99 hari dan mengurangi kerugian akibat kebocoran data rata-rata sebesar USD 1,42 juta, jika dibandingkan dengan yang tidak menerapkan kecerdasan buatan dan otomatisasi keamanan.
Meskipun teknologi AI cukup baru untuk mengidentifikasi dan mengotomatisasi respons terhadap ancaman, teknologi ini juga bisa memperluas jangkauan serangan digital dan diperkirakan dapat memberikan risiko- risiko baru bagi tim keamanan siber.
“Serangan siber telah menjadi ancaman nyata bagi Indonesia, seperti halnya negara-negara lain di dunia. Dan praktik membebankan biaya kerugian dan penanggulangannya kepada konsumen akibat insiden keamanan siber justru bisa memperkeruh situasi ini,” ujar Roy Kosasih, Presiden Direktur IBM Indonesia.
Dari hasil penelitian global, organisasi-organisasi mengalami kekurangan staf yang lebih parah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (peningkatan 26%) dan mencatat kerugian rata-rata USD 1,76 juta lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi yang memiliki staf keamanan siber yang minim atau tidak ada sama sekali.
Meskipun demikian, masalah kekurangan staf akan segera teratasi karena banyak organisasi menyatakan akan meningkatkan anggaran keamanan dibanding tahun lalu menjadi 63% dari 51%, dan pelatihan karyawan juga menjadi fokus investasi utama.
Para organisasi juga berencana untuk berinvestasi dalam perencanaan dan pengujian respons insiden, teknologi deteksi dan respons terhadap ancaman (seperti SIEM, SOAR, dan EDR), manajemen identitas dan akses, serta solusi perlindungan keamanan data.
Secara global, 70% organisasi yang mengalami kebocoran data melaporkan bahwa pelanggaran tersebut menyebabkan gangguan yang signifikan atau sangat signifikan.
Dampak gangguan dari kebocoran data tidak hanya meningkatkan jumlah kerugian, tetapi juga memperpanjang efek pasca kebocoran, dengan proses pemulihan yang memakan waktu lebih dari 100 hari untuk sebagian kecil (12%) dari organisasi yang mengalami kebocoran data dan berhasil pulih sepenuhnya.
“Dengan semakin luasnya model dan aplikasi AI generatif yang dapat memperbesar serangan dan menambah tekanan pada tim keamanan siber, sudah saatnya organisasi bisnis di Indonesia berinvestasi guna memperkuat strategi dan kapabilitas pencegahan kebocoran data dengan AI dan otomatisasi,” tambah Roy Kosasih.
Beberapa temuan penting dalam Laporan IBM Tahun 2024 di wilayah Asia Tenggara, termasuk:
• Kesenjangan Visibilitas Data – Berdasarkan laporan 2024, 41% dari kebocoran data melibatkan data yang disimpan di berbagai tempat, termasuk cloud publik, cloud pribadi, dan on-premises. Kebocoran ini juga merupakan yang paling mahal, rata-rata USD 3,44 juta, dan memakan waktu paling lama untuk diidentifikasi dan ditangani (287 hari).
• Faktor-faktor yang meningkatkan kerugian – Tiga faktor utama yang meningkatkan risiko kebocoran data untuk organisasi lokal adalah migrasi ke cloud (USD 263 ribu), lingkungan IoT/OT yang terdampak (USD 220 ribu), dan kompleksitas sistem keamanan (USD 181 ribu).
• Kegiatan terkait yang menaikkan kerugian kebocoran data – Kerugian bisnis, seperti gangguan operasional, penurunan jumlah pelanggan, dan penurunan reputasi perusahaan, meningkat hampir 31%, dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tanggapan pelanggan setelah kebocoran data pun melonjak 16% dan biaya pemberitahuan akan kasus kebocoran tersebut meningkat hampir 13% dalam periode yang sama.
• Siklus Pelanggaran Kebocoran Data – Perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara yang diteliti memerlukan waktu rata-rata sembilan bulan atau 264 hari untuk mengidentifikasi dan mengatasi insiden kebocoran data.
• Vektor Serangan Awal – Phishing merupakan vektor serangan awal yang paling umum (16%) dengan kerugian total rata-rata sebesar USD 3,39 juta per kasus kebocoran data. Ini diikuti oleh kredensial yang dicuri atau dikompromikan (USD 3,12 juta) dan penipuan lewat email bisnis (USD 3,46 juta), masing-masing menyumbang 13% dari setiap insiden. Serangan yang memanfaatkan zero-day vulnerability, atau celah keamanan dalam perangkat keras atau lunak yang belum diketahui oleh tim TI, merupakan titik masuk yang paling merugikan (USD 3,62 juta) dengan persentase kejadian kebocoran data sebesar 9%.
• Penghematan biaya jika penegak hukum terlibat – Secara global, dengan melibatkan penegak hukum, korban ransomware secara rata-rata menyelamatkan hampir USD 1 juta dalam kerugian akibat kebocoran data dibandingkan dengan yang tidak melibatkan penegak hukum, di mana penghematan tersebut tidak termasuk pembayaran tebusan. Sebagian besar korban ransomware (63%) yang melibatkan penegak hukum berhasil menghindari bayaran tebusan.
Laporan Kerugian Akibat Kebocoran Data tahun 2024 didasarkan pada analisis mendalam terhadap pelanggaran kebocoran data di dunia yang dialami oleh 604 organisasi secara global dari Maret 2023 hingga Februari 2024. Penelitian yang dilakukan oleh Ponemon Institute yang disponsori dan di analisa oleh IBM, telah diterbitkan selama 19 tahun berturut-turut dan telah mempelajari pelanggaran terkait kebocoran data melalui lebih dari 6.000 organisasi yang menjadikannya sebagai tolak ukur industri.