Satria (Satelit Republik Indonesia) yang digadang sebagai satelit internet bercepatan tinggi mendapat sorotan tajam terkait dengan sisi pendanaannya. Dalam hal tersebut, Heru Sutadi, seorang pengamat telekomunikasi telah memberikan saran kepada pemerintah terkait skema pembayaran proyek satelti Satria yang digarap oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Pendanaan satelit Satria, menurut Heru seharusnya sudah direncanakan sejak awal, termasuk investasi (CAPEX) satelit, biaya ketersediaan layanan dan pengadaan ground segment. Heru menilai dana yang harus dikeluarkan oleh BAKTI untuk Satria sangat besar dan kemungkinan bisa membebani keuangan negara untuk jangka panjang.
“Kenapa beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab PSN (Pasifik Satelit Nusantara) kok malah Kemenkominfo yang direpotkan. Dengan atau tanpa BAKTI seharusnya PSN yang meluncurkan dan mengadakan satelit,” kata Heru yang juga dikenal sebagai Directur Eksekutif ICT Institute.
Lebih lanjut Heru menegaskan kalau PSN tetap ingin mempertahankan slot orbitnya, seharusnya mereka yang melakukan investasi dan meluncurkan satelit. Bukan mengalihkan beban tersebut menjadi kewajiban pemerintah melalui Kemenkominfo.
Hal tersebut dinilai Heru mirip seperti operator seluler yang tidak mau membangun namun masih masu mengangkangi frekuensi. Ketika mereka tidak mau membangun dan frekuensi terancam dicabut oleh negara, operator bermanuver agar pemerintah mau melakukan investasi pembangunan BTS.
“Logika yang benar adalah PSN yang mendapatkan amanah dari negara untuk menggelola slot orbit satelit harus melakukan investasi pengadaan satelit dan peluncurannya karena hal ini telah termasuk ke dalam komitmen mereka ketika mendapatkan slot orbit satelit,” tandas Heru.
Agar tidak membebani keuangan negera, menurut Heru ketika membutuhkan kapasitas satelit untuk melayani daerah USO, BAKTI dapat menyewa sesuai dengan kebutuhan (pay per use).
“Seharusnya BAKTI dapat menjalankan skema sewa seperti yang saat ini sudah berjalan dengan baik yaitu dengan skema pay per use. Kalau pemerintah membutuhkan baru dibayar. Sehingga tak ada kewajiban jangka panjang yang mengikat dan memberatkan pemerintah,” kata Heru.
Adapun untuk PSN, jika memang tidak lagi mampu mengadakaan dan meluncurkan satelit, seharusnya pemerintah dapat segera mencabut izin penggelolaan slot satelitnya dan segera melelang. Bukan sebaliknya, di mana pemerintah melalui BAKTI justru membeli seluruh kapasitas satelit yang ada dengan skema penggembalian investasi (availability payment).
“Jangan seperti saat ini, dengan skema penggembalian, investasi menjadi kewajiban BAKTI. Itu sama saja satelit yang dimiliki PSN dibayarin oleh BAKTI. Kenapa kewajiban PSN dialihkan ke BAKTI,” kata Heru.
Mengenai skema jaminan penggembalian investasi yang dibuat oleh Menkominfo Rudiantara pada saat melakukan tender Satria melalui availability payment, hal ini juga dinilai Heru berpotensi membebani keuangan negara di masa mendatang dan dalam jangka panjang. Hal itu lantaran kontrak dan kewajiban membayar yang harus dilakukan oleh BAKTI kepada PSN berdurasi 15 tahun.
Bukan tanpa alasan, menurut Heru kita tidak tahu bisnis telekomunikasi ke depan seperti apa. Bahkan, menurutnya tren bisnis telekomunikasi akan mengalami penurunan. Hal itu menurut Heru bisa dilihat dari pendapatan dan laba operator telekomunikasi yang terus menurun.
“Jika ada perusahaan telekomunikasi yang tidak kuat dan tutup, maka itu akan membuat kontribusi dana USO dari operator telekomunikasi berkurang. Tentunya hal ini akan menjadi masalah di pembayaran BAKTI kepada PSN,” tandas Heru.
Perlu diketahui berdasarkan keterangan Menkominfo di DPR besar investasi untuk pengadaan Satria yang akan dimiliki oleh BAKTI menelan dana Rp 6,42 triliun. Tidak sampai di situ, untuk biaya ketersediaan layanan per tahunnya, BAKTI juga harus menggeluarkan dana setidaknya Rp1,4 triliun. BAKTI juga harus mengeluarkan biaya pengadaan ground segment yang jumlahnya 150 ribu unit, agar satelit Satria dapat beroperasi memberikan layanan telekomunikasi. (Fauzi)